[Part #10]Tales of Elementiera: Desert Ghost

Radi’s Oath

Melesat membelah lembah Irlam dengan purnama bersinar terang di atas kepala bukanlah pilihan tepat bagi Radi. Terutama jika ia tidak ingin tertangkap oleh para pasukan pengendali api.

Apalagi saat itu jarak mereka tidak terlalu jauh. Jika Radi saja sanggup melihat salah satu penunggang kuda menunjuk ke arah langit sebelum orang-orang di depannya melontarkan bola api, maka tentu saja prajurit itu juga bisa menemukannya. Namun ia tidak punya pilihan lain.

Radi nekad berlari, mengabaikan debu beterbangan membentuk jejak panjang di belakang, berharap musuh terlalu sibuk menyerang kota Rafga hingga tidak memperhatikannya.

Tentu saja ia tidak bisa berlama-lama dengan berjalan mengendap-endap. Musuh menyerang di sisi timur. Bola-bola api mereka sanggup melampaui tingginya pertahanan kota. Kapan saja sihir-sihir mereka bisa mengenai panti asuhan di balik tembok itu.

Tidak lama kemudian Radi sampai di tebing dekat pintu rahasia. Ia bersembunyi di balik sebongkah batu besar dan mengambil napas. Dadanya terasa terbakar dan kedua betisnya berdenyut nyeri.

Radi mengintip. Dan setelah mendapati tidak ada pasukan musuh yang mengejarnya, ia kembali berlari.

****

Butuh waktu cukup lama bagi Radi untuk melewati lorong-lorong kota malam itu. Kekacauan terjadi di mana-mana. Orang-orang berlarian. Prajurit-prajurit berteriak memberi perintah mengungsi. Sementara bola-bola api melayang di langit dan meledak saat membentur apa saja yang menghalangi mereka. Radi berjalan melawan arus deras manusia.

Seorang prajurit yang melihat Radi segera menyuruhnya menjauh dari tembok timur kota. “Di sana bahaya,” katanya. Beberapa pengungsi juga berkata kalau rumah-rumah di sana sudah banyak yang hancur.

Perkataan mereka bukannya membantu, Radi malah semakin khawatir dan menolak menuruti perintah. Ia harus tahu keadaan bunda Haurah dan adik-adiknya. Ia harus memastikan mereka baik-baik saja.

Semakin dekat Radi berjalan ke tembok kota, lorong-lorong di sekitarnya semakin lengang. Beberapa rumah terbakar habis. Lidah-lidah apinya mengeluarkan suara letupan mengancam.

Radi nyaris tidak bisa mengenali jalan. Semuanya tampak sama, terbakar dan tertutup asap, sampai ia beruntung melihat tikungan tempat pengemis tua selalu duduk meringkuk di sana. Namun kini pria itu hanya terbaring di jalan, seakan abai dengan api yang berkobar di sekitarnya.

Radi berbelok dan terkejut melihat panti asuhan tempatnya hidup selama belasan tahun kini telah hancur. Rasa cemas di dalam dirinya berubah menjadi ketakutan. Apakah Bunda Haurah dan adik-adiknya baik-baik saja? Apakah mereka sempat mengungsi?

Ia terus melangkah meski kakinya terasa kaku. Air mata mulai menggenang setelah pikiran-pikiran buruk melintas di dalam kepalanya. Bagaimana jika Bunda Haurah dan adik-adiknya terlambat menyelamatkan diri? Bagaimana jika mereka terjebak di dalam saat sebagian bangunan itu runtuh terkena bola-bola api?

Mendadak Radi berhenti. Darahnya serasa membeku ketika ia melihat lengan mencuat dari balik pintu. Itu lengan milik bunda Haurah.

Radi tidak berani mendekat. Bagaimana jika Bunda Haurah sudah meninggal? Ia tidak sanggup melihat jasadnya.

Namun tangan itu bergerak. Bunda Haurah masih hidup.

Radi berlari dan jatuh bersimpuh di depan pintu. “Bunda. Bunda,” panggilnya sembari membalik tubuh bunda Haurah, dan mendapati wanita itu memeluk adik perempuannya yang paling kecil. Bocah perempuan itu terbatuk.

“Bawa Aila pergi,” kata bunda Haurah. Suaranya lemah dan serak. Kedua matanya masih terpejam meski ia berhasil mencengkeram lengan Radi.

“Tapi Bunda juga harus ikut. Aku tahu tempat yang aman.”

“Pergilah. Bawa Aila. Adik-adikmu yang lain sudah lebih dulu pergi.”

“Mereka sudah mengungsi? Ke mana? Sama siapa?”

“Pergilah. Bawa Aila pergi,” ulang bunda Haurah, seakan mengabaikan semua pertanyaan Radi. Wanita itu menggumamkan sesuatu yang tidak sepenuhnya terdengar. Kata-kata itu melesak di antara napasnya yang sesak. Lalu, ia menghembuskan napas panjang, sebelum akhirnya terdiam dan terkulai lemas.

“Bunda. Bunda,” panggil Radi, pelan, meski ia tahu apa yang sudah terjadi. Darah merembes di bawah tubuh bunda Haurah.

“Bunda kenapa, Kak? Kak Radi. Bunda kenapa?” tanya Aila, namun Radi tidak tahu bagaimana harus menjawabnya. Ia sendiri ingin sekali bertanya seperti itu dengan polos tanpa tahu penyebabnya. Namun air matanya tidak bisa berbohong. Dadanya yang sesak tidak bisa menolak kenyataan kalau bunda Haurah sudah tiada.

Ia terlambat. Seharusnya ia bisa kembali lebih cepat dan menyelamatkan bunda Haurah serta seluruh adik-adiknya. Seharusnya sekarang bunda Haurah masih hidup.

Kenapa bola-bola api itu jatuh di panti asuhannya? Kenapa para pengendali api itu membunuh bunda Haurah?

Radi menangis, dan hatinya menghujat, mengutuk dirinya sendiri dan orang-orang yang dianggapnya bersalah. Rasanya ia mau menghabisi para pengendali api yang menyerang kota di luar sana. Ia ingin membalaskan dendam. Lalu ia sadar kalau dirinya bukan apa-apa. Ia hanya bocah laki-laki lemah jika dibandingkan dengan para prajurit dengan kemampuan menciptakan bola-bola api.

“Radi,” panggil suara di sudut lorong. Suri berdiri di sana entah sudah berapa lama. Ia bersama seorang prajurit berbaju zirah di sampingnya.

“Kak Suri!” seru Aila. Suri dan prajurit itu mendekat.

“Aila, ayo ikut aku.” Suri menarik Aila dari jasad bunda Haurah.

“Kita mau ke mana, Kak?”

“Pergi. Kita pergi ke tempat yang jauh.”

“Bunda juga ikut, ‘kan?” Tanya Aila. Suri terdiam.

“Tidak,” jawab prajurit yang bersama Suri setelah sebuah dentuman keras terdengar entah dari mana. Bangunan panti asuhan yang hampir roboh itu bergetar. “Bundamu tetap di sini dulu.”

“Tapi,”

“Kita mau pergi jauh. Bundamu tidak bisa ikut sekarang. Coba kau lihat. Ia tertidur, ‘kan? Ia lelah dan butuh istirahat.” Prajurit itu berjongkok di depan Aila dan berbisik, “Kita pergi sekarang. Jangan sampai Bunda kalian bangun.”

Prajurit itu hendak menggendong Aila namun Radi menahannya. Entah bagaimana ia mendengar seseorang berbisik di benaknya. Bisikan itu tidak ia mengerti namun tubuhnya seakan mematuhi setiap kata-katanya.

“Jangan! Biar aku saja yang membawa Aila,” ucap Radi. Ia berusaha tersenyum lalu menggendong Aila. Air matanya berhenti mengalir dan isak tangisnya menghilang entah ke mana.

Sejenak Radi menatap bunda Haurah untuk berpamitan dalam hati. Dahulu bunda Haurah sudah berkali-kali meminta Radi untuk menjaga adik-adiknya, terutama jika wanita itu telah tiada. Radi selalu mengiyakan, meski ia berharap hari itu tidak akan lekas tiba.

Kini tidak ada lagi yang bisa dilakukannya selain menjalankan permintaan terakhir wanita itu. Setelah semuanya berakhir, ia berjanji akan kembali dan menguburkannya. Ia juga akan menjaga adik-adiknya jika bisa menemukan mereka. Dan jauh di dalam benaknya Radi berjanji, pasukan pengendali api akan mendapatkan balasan yang setimpal atas perbuatan mereka hari ini.

****

One thought on “[Part #10]Tales of Elementiera: Desert Ghost

  1. Aphrodite says:

    Part yg ini sedih. Tapi sekaligus seru karena terjadi penyerangan 🙂

Leave a comment